Seribu Ilmu: Kawasan Timur Tengah
News Update
Loading...
Showing posts with label Kawasan Timur Tengah. Show all posts
Showing posts with label Kawasan Timur Tengah. Show all posts

Tuesday, April 21, 2020

New and future challenges in the Middle East

New and future challenges in the Middle East

New and future challenges in the Middle East

This paper investigates alternative futures of security in the Middle East in an attempt to discover a path that could take the region from an insecure past to a more secure future. Looking at five scenarios about the future of world politics, namely, globalisation, fragmentation, clash of civilisations, democratic peace and the formation of a security community, the paper argues that although each scenario has its strengths (as well as weaknesses), it is the scenario that foresees the establishment of a security community that incorporates a more explicit consideration for shaping a more secure future for the Middle East.  2001 Elsevier Science Ltd. All rights reserved.

Tuesday, April 14, 2020

Regionalism in Middle East

Regionalism in Middle East


Why has the middle east seen so few successful regional organization ?

Negara memeiliki peran penting dalam menjalankan pemerintahanya, namun pemerintah tidak melihat adanya golongan non pemerintah yang sangat berperan dalam mempengaruhi jalan politik. Kelompok-kelompok ini memiliki peranan dalam mempengaruhi masa. Dan setiap kelompok memiliki tujuan ideologi yang kebanyaka berbeda-beda, ada yang demokrasi, ada yang khilfah, arabisme dan sebagainya. Hal ini disampaikan oleh Mohammad Hassan Khani (2017) Memiliki berbagai ideologi dan pandangan dunia adalah beberapa tantangan terpenting yang dihadapi integrasi regional. Meskipun integrasi regional berdasarkan kedekatan geografis dan faktor-faktor praktis dan fungsional lainnya telah menyingkirkan faktor-faktor ideologis mode lama, namun tampaknya orientasi ideologis dan pandangan dunia yang berbeda tetap menjadi salah satu hambatan penting dalam mengumpulkan berbagai negara di sekitar pusat baru dan Timur Tengah.

Kegagalan dalam merangkai regionalism wilayah juga disebabkan karena pengaruh eksternal dari negara lain sebab wilayah Timu Tengah beradapa pada posisi yang sangat menguntungkan sehingga perlu adanya Proxy War untuk membuat regionalism di Timur Tengah tidak dapat Bersatu. Masalah intenya seperti buruknya system politik kawasa, beberapa negara di Timur Tengah memiliki ketergantungan terhadapa negara maju dalam kemanan yang sehingga mudah dikendalikan (Legrenzi, 2013 ).

Have the Arab Spring uprisings helped the prospects of improved regional integration ?
Arab Sping pada awalnya memberi gambaran integritas regional yang bagus. Namun dalam faktanya terdapat banyak kelompok yang tidak mengingkan adanya system demokrasi. Keinginan menjadi demokrasi ini disebabkan oleh system otoriter yang buruk dan pengaruh negara lain. Salah satunya negara Mesir yang berganti system kenegaranya hingga Kembali kepad system otoriter. Apabila pertanyanya adanya peningkatan intergitas regionas jelas ada.

Referensi:
Khani, Mohammad Hassan. ( 2018). Geopolitics of Regionalism; Moving towards Regional Integration as a Means for Lasting Peace and Stability in the Middle East. Geopolitic Quaterly, Vol. 13. Pp 280- 293

Legrenzi, Matteo. ( 2013). Regionalism and Regionalization in the Middle East: Options and Challenges. International Peace Institute



Monday, April 6, 2020

 OIL ECONOMY POLITIC MIDDLE EAST

OIL ECONOMY POLITIC MIDDLE EAST


Abstract
The concentration of so much of the world’s hydrocarbons in the Middle East is a contributing factor to a slew of economic and national security problems affecting the region and the world at large. The region is riddled with deepening ethnic and political tensions, terrorism, corruption and authoritarianism. In addition, there are problems that have no solution in sight and that will no doubt directly affect the supply of energy from the Middle East, among them protectionism, lack of investment, unresolved border disputes and the growing uncertainty about the political stability of key energy producers like Saudi Arabia, Iran, and Iraq. These problems are likely to be intensified as demand for oil grows. The region’s problems will no doubt impact not only the world’s economy and security but also consuming nations’ attitudes and policies toward the region’s producers as well as toward each other.





Monday, March 16, 2020

Israel-Palestine Conflict: 1948-2000

Israel-Palestine Conflict: 1948-2000


Israel-Palestine Conflict: 1948-2000
Luna Khoirunissa



Konflik antara Israel dan Palestina dapat dijuluki sebagai ‘a long-lasting conflict’. Konflik ini bermula pada tahun 1948 ketika Israel memproklamasikan kemerdekaannya. Permusuhan antara Israel dan Palestina berakar pada perebutan daerah teritorial yang mana merupakan ‘okupansi’ halus melalui mandat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Konflik ini tidak hanya tentang kedua negara yang saling berperang saja, namun juga negara-negara pendukung yang ada di belakang masing-masing kubu. Berbagai faktor seperti kepentingan dan identitas turut melatarbelakangi langgengnya konflik ini. Paper ini membahas konflik Israel-Palestina yang mencakup tiga kunci penting dalam memahami konflik ini: latar belakang konflik; solusi damai antara kedua negara; dan kesepakatan pengakuan atau deal confury yang pernah diusahakan oleh kedua pihak yang berselisih, dengan jangka waktu mulai tahun 1948 hingga 2000.
            Deklarasi Balfour pada tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris merupakan titik awal dari konflik legendaris ini. Deklarasi Balfour dituliskan pada sebuah surat berisikan dukungan terhadap pendirian ‘rumah’ bagi kaum Yahudi di Palestina yang dikirimkan oleh Arthur James Balfour selaku menteri luar negeri Britania Raya pada saat itu kepada Lionel Rothschild.[1] Dengan adanya surat ini, Inggris mendukung kaum Zionis untuk mendirikan sebuah negara yang terdiri atas kaum Yahudi di tanah Palestina.
            Seperti yang telah disebutkan pada awal esai, konflik ini sarat akan berbagai kepentingan. Dengan mendukung adanya pembentukan negara Zionis, Inggris akan mendapat beberapa keuntungan. Dengan dukungan yang diberikan Inggris terhadap permintaan kaum Zionis untuk mendirikan sebuah negara, Inggris  mengharapkan dukungan dari kaum Yahudi akan mengalir, khususnya dari negara dengan populasi Yahudi yang cukup banyak seperti Amerika Serikat. Inggris berharap Amerika Serikat dapat menyokong Sekutu (Inggris dan aliansinya) dalam Perang Dunia I menghadapi Central Powers (Jerman dan sekurunya).[2] Selain itu bila negara Zionis terbentuk di tanah Palestina, hal ini akan memudahkan Inggris untuk melindungi kepentingannya di Teluk Suez yang berada di Mesir. Hal ini bertujuan untuk memudahkan Inggris untuk melakukan kontrol dan komunikasi terhadap koloninya di India lewat Mesir.
            Tujuan Deklarasi Balfour mulai terealisasi 30 tahun setelahnya. Inggris menyerahkan tanggung jawab atas Palestina kepada PBB pada tahun 1947. Rencana tersebut menghasilkan keputusan untuk memberikan sebagian teritori Palestina kepada kaum Zionis. Wilayah suci di Palestina akhirnya dibagi menjadi tiga, yakni Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Golan. Israel akhirnya memproklamirkan kemerdekaannya setahun kemudian, yakni pada 14 Mei 1948. Kemerdekaan Israel kemudian memicu pertentangan oleh negara-negara Arab lainnya, yang kemudian berujung pada tekanan dan serangan yang diberikan oleh Mesir, Syria, Yordania, serta tentara Irak dan Lebanon.[3] Serangan yang diberikan oleh negara-negara Arab ini gagal, malah membuat negara-negara Arab tersebut terpecah belah, seperti Transyordania—yang  menjadi Kerajaan Hasyim Yordania—pada akhirnya mendukung adanya pemisahan wilayah Palestina dan memberikan sebagian wilayah tersebut bagi Israel.
Pembentukan Israel tidak hanya menimbulkan konflik antara Israel dengan Palestina, namun konflik ini pada akhirnya mengalami overlapping dari aktor-aktor yang terlibat. Adanya gencatan senjata pada tahun 1949 yang ditandatangani oleh Israel dan negara-negara Arab yang menentangnya tidak lantas membuat perselisihan mereda. Negara-negara Arab memboikot perusahaan yang menjalin perdagangan dengan Israel dan Mesir melarang kapal-kapal Israel untuk berlabuh di Terusan Suez (Smith, 2014). Berdirinya Israel disokong oleh negara-negara Barat yang memiliki berbagai kepentingan di kawasan Timur Tengah. Hal ini memicu konflik-konflik di Timur Tengah dari Krisis Teluk Suez, hingga rivalitas negara-negara Arab yang masih berlangsung hingga saat ini.
Permusuhan antara negara-negara Arab dengan Israel pada akhirnya berdampak pada munculnya konflik baru yang disebabkan oleh kepentingan aktor-aktor di balik kisruhnya kawasan Timur Tengah. Krisis Teluk Suez pada tahun 1956 diawali dengan kedongkolan Amerika Serikat terhadap Mesir yang memilih untuk berlaku netral di tengah tingginya intensitas Perang Dingin. Amerika Serikat menginginkan Mesir untuk menjadi penggerak negara-negara Arab lainnya untuk condong ke blok Barat[4], namun Mesir di bawah kepemimpinan Gamal Abdul Nasser malah mendeklarasikan netralitasnya lewat pendirian Gerakan Non-Blok atau Non-Aligned Movement. Di tengah-tengah adanya sentimen tersebut, Mesir juga mengalami konfrontasi militer dengan Israel. Konflik antara Israel dan Mesir ini pada akhirnya juga berimbas pada penyerangan Gaza oleh Israel. Serangan ini memakan cukup banyak korban, termasuk orang-orang Mesir.
Tak berhenti di situ, rivalitas Mesir dengan Israel memuncak di tahun 1967. Perang 1967 ini diawali oleh konfrontasi antara Syria dan Israel, yang kemudian melibatkan Mesir dan Yordania ke dalam kemelut konflik perebutan teritorial tersebut. Dengan terlibatnya Yordania dan Syria ke dalam perang tersebut, Israel berhasil menaklukkan wilayah Golan, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Semenanjung Sinai. Israel juga menguasai Yerusalem dan mencanangkan bahwa Yerusalem merupakan ibu kota Israel. Hal ini menyebabkan dua hal utama: warga Palestina dan Yordania yang ada di Jalur Gaza dan Tepi Barat berada di bawah kekuasaan Israel; dan penaklukan wilayah Yerusalem yang di dalamnya terdapat banyak tempat suci yang bersejarah bagi umat Islam. Di tengah peliknya konflik perebutan teritori ini, ideologi dan identitas memainkan peranan pentingnya. Israel bertujuan untuk membentuk sebuah negara yang dihuni oleh penduduk Yahudi asli di tengah-tengah wilayah Arab. Identitas ini akan luruh apabila Israel mengakuisisi daerah yang memiliki banyak populasi Arab dan beragama selain Yahudi, seperti wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat. Konflik antara negara-negara Arab dan Israel masih tetap berlanjut hingga adanya Perang Yom Kippur dan berhasil diturunkan eskalasinya melalui Camp David Accords pada tahun 1979.[5]
Setelah perseteruan antara negara-negara Arab ini usai, kini muncullah pergolakan dari masyarakat Palestina atau yang disebut dengan intifadha. Intifadha pertama muncul pada tahun 1987 dan berlangsung hingga tahun 1991. Pemberontakan ini akhirnya dapat diredam melalui mediasi yang dilangsungkan pada Perjanjian Oslo pada tahun 1993. Pada perjanjian tersebut, Israel mengakui Palestine Liberation Organization sebagai representasi dari Palestina dan keduanya sepakat untuk segera mendirikan Palestinian Authority (PA) yang bertugas untuk melaksanakan kewajiban dan tugas pemerintahan di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza selama lima tahun.[6] Setelah itu, permasalahan tentang batas teritorial kedua negara hingga Yerusalem akan dibicarakan.
Perjanjian Oslo II pada tahun 1995 menyetujui kesepakatan tentang penyerahan wilayah yang lebih luas kepada Israel dan peningkatan otoritas Palestina terhadap bidang politik dan keamanan. Perjanjian Oslo II ini merupakan sebuah titik terang bagi konflik Israel-Palestina. Namun, implementasi perjanjian ini kemudian gagal akibat kematian Rabin dan naiknya Binyamin Netanyahu. Dengan berkuasanya Netanyahu, tujuan dari Perjanjian Oslo kemudian digagalkan dan intensitas konflik kemudian kembali meningkat. Intifadha kedua akhirnya kembali terjadi pada September 2000.

Kesimpulan
Konflik antara Israel dan Palestina masih berlangsung hingga sekarang. Identitas dan ideologi merupakan dua dari berbagai faktor-faktor penting yang bermain dalam rumitnya konfik ini. Perjanjian Oslo merupakan resolusi yang paling sukses sepanjang sejarah konflik Israel dan Palestina. Perjanjian Oslo berhasil menurunkan tensi antara kedua negara dan berhasil membuat kedua negara akhirnya mengakui satu sama lain. Gagalnya resolusi konflik antara kedua negara adalah karena adanya ideologi sayap kanan di kedua belah pihak.

Bibliography

Smith, C. (2014). The Arab-Israeli Conflict. In F. Halliday, International Relations of Middle East (pp. 283-308). Cambridge: Cambridge University Press.

 Britannica. (2020). Balfour Declaration. Diakses dari https://www.britannica.com/event/Balfour-Declaration
cfr.org. (2020). Israeli-Palestinian Conflict. Diakses dari https://www.cfr.org/interactive/global-conflict-tracker/conflict/israeli-palestinian-conflict pada 26 Februari 2020





[1] Britannica. (2020). Balfour Declaration. Diakses dari https://www.britannica.com/event/Balfour-Declaration

[2] ibid
[3]

Smith, C. (2014). The Arab-Israeli Conflict. In F. Halliday, International Relations of Middle East (pp. 283-308). Cambridge: Cambridge University Press.

[4] ibid
[5] cfr.org. (2020). Israeli-Palestinian Conflict. Diakses dari https://www.cfr.org/interactive/global-conflict-tracker/conflict/israeli-palestinian-conflict pada 26 Februari 2020
[6] ibid
Middle East in Cold War Era

Middle East in Cold War Era


Middle East in Cold War Era
Bima Bramasta

Middle East in Colonialism Era
Timur Tengah adalah wilayah tren yang kontradiktif. Di mana krisis politik yang berulang-ulang nampaknya mengancam stabilitas regional atau global, akan tetapi ciri-ciri politik yang menentukan di kawasan tersebut terbukti sangat tangguh. Kecepatan perubahan mendasar yang tak terduga di Timur Tengah telah mengejutkan hampir semua orang. Mungkin yang paling terkejut adalah para pemimpin otokratis itu sendiri yang telah membangun status quo di wilayah kekuasaan mereka masing-masing di atas gagasan keliru tentang stabilitas yang tidak dipertanyakan (Macqueen, 2013).
Sepanjang sejarah, penjajahan atau kolonialisme sendiri memiliki beberapa sebab dan motivasi khusus. Beberapa alasan utama penjajahan di Timur tengah adalah adanya alasan ideologis dan agama. Hal ini telah menjadi alasan utama untuk beberapa perang yang sebagian besar diperjuangkan oleh para pembela dari tiga agama monoteis utama. Penakluk Muslim telah menduduki Timur Tengah dan bagian dari benua Eropa di Andalusia dan Eropa Timur. Hal ini mengarah pada kampanye Kristen untuk menaklukkan kembali beberapa wilayah di Spanyol dan Palestina selama perang salib (Kamal, 2012). Kolonialisme Eropa di Timur Tengah memperkuat ketegangan di antara kelompok-kelompok agama, yang banyak di antaranya masih ada sampai sekarang. Timur tengah sendiri di masa kolonial merupakan sebuah “arena pertarungan” saat terjadi perang dunia pertama dan perang dunia kedua. Adanya hal itu, timur tengah terbagi menjadi 4 wilayah besar, yang pertama 1) wilayah “protektorat” dari Inggris yakni Iraq, Mesir, Palestina dan Sudan; 2) Wilayah kekuasan Prancis meliputi Syria, Aljazair; 3) Wilayah Turki Utsmani (hingga tahun 1923) ; dan 4) adanya negara merdeka seperti Arab Saudi dan Iran.
Wilayah Timur Tengah menghadapi kontrol langsung dari berbagai bentuk pemerintahan kolonial Eropa pada awal abad kesembilan belas dan berlanjut sampai Perang Dunia II, hal itu berlangsung sampai abad kedua puluh sampai masing-masing negara memiliki “rasa independen” dari hegemoni Eropa atas wilayah tersebut. Kolonialisme menciptakan dampak negatif terhadap negara seperti kasus Afrika Utara Tunisia Maroko dan Aljazair ketiganya adalah "negara penjajah kolonial" yang sebagian besar keluarga Prancis tetap di sana sampai mereka dipaksa oleh perjuangan kemerdekaan tahun 1950-an dan awal 1960, bahasa yang mendominasi sebagian besar negara-negara ini adalah Perancis, karena kolonial Perancis memperlakukan terutama Aljazair sebagai bagian integral dari Perancis. Kolonialisme bertanggung jawab atas masalah Timur Tengah saat ini, faktor yang terpenting adalah; hal tersebut memfasilitasi kelahiran pendudukan, dalam kasus konflik Palestina-Israel dengan mendukung gerakan Zionis yang seperti penjajah lainnya, mereka mengukir wilayah untuk menciptakan surga bagi orang Yahudi yang dianiaya dari Eropa. Zionis memulai sebagai gerakan tetapi berubah menjadi gerakan kolonial ketika para pemimpinnya (Hertzil) memutuskan untuk mengimplementasikan visi mereka tentang kebangkitan nasional di tanah Palestina. pemerintah Inggris menyatakan mendukung untuk mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi, melalui Sir Arthur Belfour, deklarasi ini dikenal sebagai Deklarasi Belfour pada tahun 1917, deklarasi ini adalah kemenangan besar bagi gerakan Zionis untuk membangun tanah rumah bagi kaum Yahudi di Palestina (UK Essays, 2018). Kekuasaan kolonial sendiri memiliki dampak negatif, mereka berhasil mengendalikan semua sumber daya negara sementara orang-orang asli adalah pelayan mereka, mereka memperbudak rakyat, menghancurkan budaya dan generasi, membunuh orang, menyita tanah dari petani, berimigrasi dan menciptakan kemiskinan dalam masyarakat.
Posisi geo-strategis Timur Tengah, di persimpangan tiga benua, dalam mengendalikan sumber daya penting dan selat strategis adalah apa yang menciptakan rasa kompetisi yang kuat dalam penjajah Eropa utama untuk mengurangi peran dan kekuatan Kekaisaran Ottoman. Bahkan hari ini kompetisi ini melibatkan aktor-aktor yang masih menduduki beberapa negara di kawasan ini, atau melakukan penjajahan jenis baru atas beberapa rezim tidak sah, yang hanya melayani kepentingan dan agenda Barat di wilayah tersebut. Sekuel penjajahan di Timur Tengah masih tampak jelas karena kawasan ini menghadapi ketidakstabilan saat ini. Pemerintah yang didirikan di era pasca-kolonial tidak serta merta mencerminkan ide dan aspirasi rakyat. Di beberapa negara, kelompok-kelompok minoritas memiliki kendali atas struktur kekuasaan yang mencegah segala bentuk demokrasi terbentuk. Negara-negara lain masih menghadapi masalah dalam mengidentifikasi identitas nasional mereka. Munculnya Islamisme dan Arabisme adalah tanda-tanda kuat bahwa pemerintah pasca-kolonial berusaha mencari solusi untuk situasi yang mereka anggap tidak dapat diterima. Pengaruh globalisasi, dan campur tangan asing di kawasan ini telah memicu gangguan dan revolusi di beberapa negara Timur Tengah. Hasil dari situasi yang berkembang ini harus mendefinisikan kembali sifat pemerintah dengan memberi mereka legitimasi. Di sisi lain, proses perubahan ini tentu saja mempengaruhi sifat hubungan dengan kekuatan barat, terutama karena konflik Arab-Israel dan eksploitasi sumber daya alam yang berkelanjutan di wilayah tersebut. (Kamal, 2012).
Middle East in Cold War Era
Timur Tengah adalah area utama pertikaian (UK Essays, 2018). Sejak Perang Dunia II, negara-negara adidaya menyadari pentingnya hal ini, dalam hal lokasi geografisnya yang strategis dan ladang minyak serta cadangan gasnya yang luas. Bahkan, dari sudut pandang geopolitik, wilayah itu terletak di persimpangan tiga benua, langsung ke selatan ke perbatasan Rusia dan Kaukasus dan dikelilingi oleh empat laut utama, yaitu Mediterania, Hitam dan Laut Kaspia dan Samudra Hindia. Sebelum berakhirnya perang, Amerika Serikat dan Uni Soviet sudah secara strategis tertarik pada cadangan minyak Timur Tengah. Faktanya, tidak hanya pada saat itu adalah kekuatan besar produsen minyak utama dunia, tetapi juga perang membuat mereka semakin sadar akan peran strategis yang diperoleh minyak dalam peperangan. Faktanya, kekuatan motorik mereka sangat bergantung pada minyak untuk daya dorong mereka, demikian pula angkatan laut dan angkatan udara mereka (UK Essays, 2018). Akibatnya, mereka menjadi sangat prihatin tentang risiko persediaan mereka ditolak oleh musuh-musuh mereka dan tentang melestarikannya
Secara internal, persaingan perang dingin mendistorsi keputusan ekonomi, kebijakan domestik, keseimbangan sosial, militer dan politik, dengan kekuatan super bertanggung jawab atas - atau mendukung - kudeta dan pemberontakan internal (UK Essays, 2018). Agama dan ideologi telah diperuntukkan untuk mengejar logika keseimbangan kekuasaan Perang Dingin, dengan beberapa dampak juga pada pertumbuhan demokrasi. Memang, tidak ada tekanan oleh Amerika Serikat untuk mempromosikan demokrasi atau hak asasi manusia di daerah tersebut. AS sendiri meliput atau mendukung tindakan untuk menumbangkan demokrasi Timur Tengah - seperti kudeta Amerika-Inggris di Iran, yang menjatuhkan pemerintahan Mossadeq yang terpilih dan menginstal kembali Mohammad Reza Shah yang otokratis pada tahun 1953. Perilaku ini koheren dengan tugas-tugas keamanan Amerika untuk melestarikan Timur Tengah dari Komunisme dan mengekspor logika kapitalis pasar bebas; tugas-tugas yang dapat dilakukan secara efektif dengan menyelaraskan dengan elit lokal yang kaya dan konservatif. Uni Soviet, sebaliknya, bekerja dengan penuh perhatian untuk mendorong perkembangan sosialisme dan logika distributif di daerah tersebut, mencoba untuk menarik kelas pekerja dan partai-partai komunis local. Kompetisi Perang Dingin juga memiliki peran lain di wilayah ini. Hal ini bekerja sebagai pengalih perhatian, mengalihkan perhatian dari masalah internal kawasan, yang seharusnya dapat diamati dan dipecahkan sebelumnya. Apa yang muncul dari akhir kompetisi dan kemenangan Barat, dengan demikian, hanyalah gambaran yang tidak menyimpang dan lebih menggenggam wilayah dan kompleksitasnya yang sudah ada sebelumnya. (UK Essays. 2018)
Intinya, selama pada era perang dingin, timur tengah merupakan sumber minyak utama yang strategis dan penting serta telah disadari oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selama Perang Dingin, Uni Soviet mempertahankan kepentingan politik dan strategisnya di zona Arab-Israel dengan mendukung orang Arab dalam perselisihan mereka dengan Israel. Di lain sisi, intervensi militer AS di Timur Tengah pasca perang dunia dua telah mencerminkan intervensi sebelumnya oleh Inggris dan Prancis. Secara khusus, masing-masing negara ini menduduki negara-negara regional utama dengan deklarasi publik bahwa ini adalah untuk perbaikan populasi lokal. Sesungguhnya, intervensi ini menyebabkan kerusuhan dan perlawanan lokal yang meluas, yang semakin mempererat hubungan antara aktor lokal dan negara-negara regional. Sementara bentuk-bentuk baru intervensi, seperti penggunaan serangan drone, telah menimbulkan kontroversi baru mereka terus menggemakan tema tentang bagaimana aktor regional berhubungan dengan kekuatan global..
Referensi :
1.       MacQueen, B. (2013). An Introduction to Middle East Politics.
2.       Essays, UK. (2018). The Middle East The Creation Of The Colonialism History Essay. [online]https://www.ukessays.com/essays/history/the-middle-east-the-creation-of-the-colonialism-history-essay.php?vref=1, diakses pada 11 Februari 2020
3.       Kamal, A. (2012). History Of The Middle East : A Research Project Of Fairleigh Dickinson University, USA. ISBN: 978-1-4507-9087-1
4.       Essays, UK. (2018). The Middle East During The Cold War. [online] https://www.ukessays.com/essays/history/the-middle-east-during-the-cold-war.php?vref=1, diakses pada 11 Februari 2020

Kemajemukan Identitas dan Sistem Politik di Timur Tengah

Kemajemukan Identitas dan Sistem Politik di Timur Tengah


Kemajemukan Identitas dan Sistem Politik di Timur Tengah
Annisa Nur Islamiyah

Identitas merupakan cara untuk mendefinisikan diri sendiri untuk dapat dikenal oleh orang lain, begitu pula dengan negara, memiliki identitas sebagai tanda pengenal bahkan sebagai harga diri. Identitas memiliki beberapa ukuran objektif yakni meliputi ras, etnis, jenis kelamin, politik, agama, orientasi seksual, dan yang lainnya. Identitas juga dapat menentukan bagaimana seharusnya kita sebagai seorang individu dapat berperilaku didalam sebuah masyarakat yang majemuk, dapat mengidentifikasi diri kita sendiri. Hal tersebut tentunya juga berlaku bagi sebuah negara yang notabene nya adalah aktor utama didalam hubungan Internasional, negara memiliki identitas juga agar dapat mengidentifikasi dirinya sendiri, dapat mengerti harus berperilaku seperti apa di dunia internasional, dan jika melihat dengan kacamata realisme, identitas ini juga penting bagi sebuah negara untuk dapat menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Identitas yang sangat kental di Timur Tengah adalah identitas Agama, hal tersebut dikarenakan memang hampir semua negara-negara Timur Tengah masyarakatnya adalah Muslim. Dan tentunya, identitas ini sangat berhubungan dengan sistem politik yang diadopsi oleh Kawasan Timur Tengah.
Keberadaan Timur Tengah mencakup tujuh belas negara Arab dan ditambah dengan wilayah Palestina dan juga negara-negara non-Arab di Iran, Israel, Turki, dan juga Sirpus.[1] Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Timur Tengah sangat terkenal dengan konfliknya. Konflik yang terjadi di Timur Tengah bukan tentang kekayaan sumber daya alam, atau bahkan konflik karena adanya perbedaan identitas agama seperti di negara-negara pada umumnya. Namun, konflik yang terjadi di Timur Tengah bisa saja terjadi karena adanya faktor eksternal yang mempengaruhi. Didalam sistem negara-bangsa, Kawasan Timur Tengah juga terkena dampak dari adanya kekuatan eksternal dari negara Barat, bahkan peran negara Barat di Timur Tengah hampir seperti musuh yang tidak pernah berdamai.
Negara Barat mulai mempengaruhi Timur Tengah semenjak jatuhnya kekaisaran Ottoman, yang mengakibatkan negara-negara di Kawasan Timur Tengah tidak memiliki petunjuk tentang bagaimana mana mereka harus bertindak dalam memerintah negara, dan juga negara-negara Kawasan Timur Tengah ini kebingungan dalam bagaimana mereka harus mengolah pemerintahan secara sistematis. Dalam perjanjian Konstantinopel antara Rusia, Prancis, dan juga Inggris pada Maret 1951[2] terdapat bukti bahwa mulai saat itu kekuatan Barat mulai masuk di Timur Tengah. Kesepakatan kedua membahas mengenai kesepakatan untuk pembagian Timur Tengah terjadi ketika orang-orang Arab memprakasai aksi pemberontakan terhadap kekaisaran Ottoman. Pada saat itu, orang-orang Arab mencoba meminta pertolongan dengan meminta dukungan kepada Inggris, namun tentunya, bantuan yang diberikan oleh Inggris harus dibayar dengan Negara-negara Arab pada waktu itu harus kehilangan beberapa wilayah termasuk Mersin, Adana, Persia Utara, Teluk Persia, dan Samudera Hindia dibawah perjanjian yang kemudian dikenal dengan Pemberontakan Arab. Perjanjian ketiga dimaksudkan untuk membagi wilayah, yang pada waktu itu terjadi ditahun 1916 ketika Inggris, Prancis, dan Rusia telah sepakat untuk bekerja sama membongkat kekaisaran Ottoman di tahun yang sama. Perjanjian tersebut dikenal sebagai perjanjian Sykes-Picot yang menyebabkan adanya pembagian Suriah yang dikuasai oleh Turki, Irak, Lebanon, dan juga Palestina ke berbagai wilayah yang dikelola oleh Prancis dan Inggris.
Setelah terjadinya perang dunia pertama, Timur Tengah dalam keadaan di jajah oleh negara-negara Eropa. Negara-negara Timur Tengah sudah banyak sekali yang dikuasai oleh kekuatan Eropa, negara-negara nya antara lain Iran Suriah, Lebanon, Aljazair, Maroko, Tunisia, dan lain lain. Hingga saat itu, di Timur Tengah selalu mengalami krisis hingga berlanjut setelah Perang Dunia kedua, yang mana pada waktu itu negara Timur Tengah yang notabene masih menjadi negara bekas jajahan mendapatkan dukungan internasional dalam tindakan untuk dapat menentukan nasib mereka sendiri, hal tersebut bertujuan untuk dapat membantu negara-negara Timur Tengah untuk dapat mengatur pemerintahannya sendiri namun juga tidak benar-benar dipastikan dapat terbebas dari adanya konflik.
Kawasan Timur Tengah memiliki karakteristik umum yang mana sebagai kelompok negara yang sebagian besar adalah Muslim, dan negara-negara Arab sangat banyak dihadapkan dengan musuh-musuh baru seperti Israel dan Iran. Hal ini juga ternyata mempengaruhi fokus politik di Timur Tengah yang dibagi menjadi dua yakni politik yang berbasis agama, dan politik identitas atau seperti negara lain pada umumnya. Dalam politik berbasis religion ini menjadikan beberapa konflik seperti konflik Israel-Arab yang juga cukup lama dikenal sebagai salah satu konflik yang didasarkan karena adanya pertentangan agama antara Islam dan juga Yahudi. Orang Arab, yang berada di kubu Palestina terus berusaha menyuarakan suara Palestina untuk mendapatkan askes menjadi negara yang sejahtera, karena memang selama ini Palestina selalu di serang oleh zionis Israel. Hal tersebut semakin memuncak ketika Israel mulai mengklaim Yerusalem yang notabene adalah ibukota Palestina sebagai modal mereka untuk dapat melacak kembali sejarah mereka sebagai Yahudi. Israel juga mengklaim sebagian besar wilayah Palestina, yang menimbulkan tindakan-tindakan agresif terhadap masyarakat muslim dunia seperti Arab.
Selain Iran, sistem politik berbasis agama di Timur Tengah ini juga menimbulkan konflik antara Negara Arab dengan Iran, semenjak selesainya Perang Dingin, negara Timur Tengah sudah mulai menerima ancaman-ancaman yang diberikan oleh Iran. Iran berfokus untuk dapat merusak rezim Arab dan membangkitkan Syiah, bahkan pada waktu itu Iran juga mengelilingi Arab Saudi dengan memutuskan nasib perang saudara Yaman demi kepentingan Iran.[3] Faktanya, semua negara Dewan Kerjasama Teluk termasuk tetapi tidak terbatas pada Arab Saudi & Yordania membenci Iran karena sejarah konflik mereka dan pemahaman yang berbeda tentang bagaimana memandang sebagai seorang Muslim. Selain itu, Arab Saudi bersama dengan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk ingin menggunakan KTT ke 26 untuk konsensus Arab untuk menampung Iran, dan mempersiapkan intervensi militer di Yaman.[4]
Ancaman selanjutnya adalah datang dari Amerika Serikat. Akhir Perang Dingin membuat AS sebagai satu-satunya negara adikuasa pada tingkat tertentu di tingkat global dan dengan sendirinya di kawasan tersebut.[5] Hal tersebut diperparah dengan adanya keadaan Unipolar yang menjadikan Amerika Serikat seperti negara yang paling kuat di dunia dalam hal demokrasi dan ketertiban dunia. Apalagi dengan adanya aksi 9/11 yang membuat semakin banyaknya negara yang mengagungkan Amerika sebagai Polisi Dunia, dan membuat pengaruhnya di dunia internasional sangat amat kuat. Dengan adanya aksi 9/11 ini juga membuat Amerika seperti memiliki kesempatan untuk dapat melakukan intervensi militer di Timur Tengah seperti di Irak dan Afghanistan.
Kemajemukan identitas yang ada di Timur Tengah ternyata juga dapat menyebabkan konflik-konflik di Timur Tengah semakin banyak, terlebih lagi juga dipengaruhi sistem politik mereka yang salah satunya menggunakan basis agama. Yang mana, dengan sistem politik tersebut saja menyebabkan negara-negara Arab mendapatkan 2 musuh sekaligus, hal tersebut yang membuat Timur Tengah sangat banyak konflik hingga dikenal sebagai tanah konflik.
Referensi :
  1. Ahmadov, R. (2005). The U.S. Policy toward Middle East in the Post-Cold War Era . Turkish Journal of International Relations, 138-150.
  2. Fawcett, L. (2016). International Relations of the Middle East. Oxford: Oxford University Press.
  3. Banks, Arthur S. dan Thomas C. Muller, dan William R. Overstreet. 2008. Political Handbook of The Middle East, Washington D. C : CQ Press.




[1] Arthur S. Banks, Thomas C. Muller, William R. Overstreet, 2008, Political Handbook of The Middle East, Washington D. C : CQ Press.
[2] L. Fawcett, 2016, International Relations of the Middle East, Oxford: Oxford University Press.
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] R. Ahmadov, 2005, The U.S. Policy toward Middle East in the Post-Cold War Era, Turkish Journal of International Relations, 138-150.

Featured

[Featured][recentbylabel2]

Featured

[Informasi%20Lingkungan][recentbylabel2]
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done